Bab 226
Bab 226
Bab 226
Samara menggigit sepotong biskuit, lalu berkata: “Dia cantik, tetapi pandangan matanya kurang bersahabat.”
Jari tangan Widopo mengetuk permukaan meja dengan berirama, lalu berkata kepada Kiky yang baru masuk: “Kiky, pecat sekretaris Kinary.”
Kiky terkejut sambil memandang Widopo, lalu menatap Samara sekejap seolah olah mengerti sesuatu, dia lalu mengangguk.
“Baik—–”
Setelah Kiky meninggalkan ruangan, Samara malas memberi komentar, dia menatap Widopo dengan tatapan seperti sedang melihat orang gila.
Semua tindakan yang dilakukan orang gila sudah tidak aneh lagi.
Dia tidak ingin memahami Widopo, bahkan tidak ingin terlibat ke dalam dunianya.
Asalkan sudah mendapatkan Buah Darah Ular dia akan meninggalkan lelaki ini sejauh jauhnya.
Widopo memandang mata Samara yang melotot marah, dia merasa perempuan kecil ini lain daripada yang lain. Dia tidak mudah terprovokasi, tidak mudah emosi, sebaliknya dia mempunyai karakter yang kuat, penampilan keseluruhannya terkesan tenang dan cuek.
Dia seperti terpesona olehnya, mengulurkan tangan hendak menarik topeng wajahnya.
Sejak melihat tampang aslinya waktu dia tidak sadarkan diri, wajah Samara telah terukir dalam benaknya, tidak dapat dihilangkan sama sekali,
Samara sudah berdiri sebelum jari tangan Widopo mencapai wajahnya.
Sinar matahari menyinari tubuh Samara dan memberikan selapis cahaya keemasan di tubuhnya, wajah kecilnya memancarkan ekspresi dingin dan sangat terkendali: “Saya sudah melakukan semua yang saya janjikan kepadamu, Buah Darah Ular yang kamu janjikan, boleh sekarang juga berikan kepada saya?”
Tangan Widopo berhenti di tengah udara, dia memandang sejenak pada tangannya baru tertawa dan menarik kembali tangannya.
Lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu dari dalam laci dan mendorongnya ke depan Samara.
Samara membukanya dengan tidak sabar, benar saja di dalam kotak itu berisi sebiji buah berwarna merah darah, memancarkan cahaya yang mempesona. Waktu didekatkan masih bisa tercium bau akar rumput yang samar samar.
Benar ini adalah Buah Darah Ular.
Lagipula, sebiji ini kualitasnya lebih baik daripada tiga biji obat di tangannya yang dia berikan kepada Raisa.
Membayangkan dapat memberikan tambahan waktu kepada Raisa, Samara benar benar sangat gembira, kegembiraan yang terpancar dari dalam lubuk hati menyebabkan matanya bersinar sinar.
“Terima kasih.”
Samara menutup kembali kotak kayu, lalu berkata pelan kepada Widopo.
“Kalau begitu saya tidak mengganggu pekerjaan Presdir lagi.”
Widopo sudah menduga jika Samara mendapatkan Buah Darah Ular, dia pasti akan mengabaikan dirinya lagi, jadi dia sama sekali tidak marah sebaliknya sengaja bertindak misterius.
“Perempuan kecil, sebiji Buah Darah Ular saja sudah bisa membuatmu gembira seperti itu, bagaimana jika yang saya hadiahi adalah Buah Darah Naga, apa reaksimu lagi?”
Mendengar ‘Buah Darah Naga’, langkah kaki Samara langsung terhenti.
“Kamu tahu keberadaan Buah darah Naga?” Ccontent © exclusive by Nô/vel(D)ra/ma.Org.
“Waktu saya menderita Sindrom dingin ada dokter yang menganjurkan saya menggunakan Buah Darah Naga untuk menstabilkan gejala penyakit, jadi saya juga mencari keberadaan obat ini.” Widopo berjalan pelan pelan ke depan Samara, “Penyakit saya sudah disembuhkan olehmu, Buah Darah Naga juga sudah tidak berguna lagi untuk saya. Tetapi belakangan ini saya mendapat kabar lagi mengenai Buah Darah Naga…….”
“Benarkah? Dimana Buah itu berada?”
Mata Samara kembali bersinar, Widopo menyeringai dengan senyuman yang culas: “Perempuan kecil, saya pernah berjanji untuk memberimu Buah Darah Ular, tetapi berdasarkan apa saya memberitahumu keberadaan Buah Darah Naga?”
Samara sudah menduga Widopo ini tidak akan begitu baik hati memberitahu keberadaan Buah Darah Naga kepadanya, tetapi membayangkan penyakit Raisa, dia terpaksa bertanya.
“Coba katakan, apa syaratmu baru bersedia memberitahu saya tentang keberadaan Buah itu?”
“Tidak tahu.”
“Apa maksudmu tidak tahu? Buah Darah Naga sangat penting untuk saya, dengan Buah itu sebagai obat dasar dapat menyembuhkan seorang teman baik saya.” Samara menyipitkan matanya dan berkata dengan dingin, “Saya sudah berjanji kepadanya, pasti akan membiarkan dia hidup sampai tua bersama suaminya, jadi saya tidak ada waktu dan suasana hati untuk bermain main denganmu.”
“Saya tidak bermain main dengan kamu. Saya hanya belum siap berpikir mau meminta apa darimu.” Mata Widopo terlintas sekilas cahaya yang tajam, “Saya boleh memberitahu kamu keberadaan Buah itu, tetapi ini harus dianggap sebagai hutang kamu kepada saya, begitu terpikir apa yang saya inginkan, saya akan mencarinya untuk konfirmasi di depan kamu. Dengan begitu kamu masih berani tukar syarat dengan saya?”
Begitu dia selesai berkata.
Widopo mengira Samara pasti akan berpikir sejenak, akan tetapi dia malah tanpa berpikir panjang menjawab.
“Widopo, saya berani.”